Ruangan Paling Sunyi Di Dunia

CreepyPasta Ruangan Paling Sunyi Di Dunia
CreepyPasta Indonesia

Saat kesadaranku perlahan kembali, aku bisa merasakan kehampaan membasahi pikiranku yang rusak. Aku tidak bisa bergerak, apalagi mengingat yang terjadi sebelum aku pingsan.

Mataku seperti terbakar saat aku membukanya. Aku telah menghabiskan terlalu banyak waktu dalam kegelapan dan sekarang aku dipaksa untuk beradaptasi dengan aliran cahaya yang menyakitkan penglihatanku.



“Halo?” Aku mencoba memanggil, tapi yang keluar dari bibirku hanyalah bisikan.

Hingga akhirnya mataku bisa melihat dengan jelas. Aku mencatat ruangan ini. Dinding, lantai, dan langit-langit semuanya ditutupi busa insulasi suara yang aneh.

Aku mencoba untuk berdiri, tetapi kakiku menolak untuk bekerja sama. Kakiku terasa melemah secara signifikan, dan fakta ini, selain kepalaku yang pusing, membuatku sadar bahwa aku pasti telah dibius.

“Apakah ada orang di sana?” Tanyaku, sedikit lebih keras saat itu.

Tidak ada respon.

Aku mencoba  berpikir kembali, mengacak-acak ingatanku sendiri, berharap menemukan informasi yang paling samar sekalipun. Aku telah dibius dengan dosis yang berat, itu sudah jelas, tapi aku tidak tahu mengapa mereka menempatkanku di ruangan kedap suara.

Beberapa saat kemudian akhirnya aku berhasil berdiri. Meski langkahku masih goyah, aku mulai mencari jalan keluar. Namun sayangnya, semua yang ada di sekitarku tersegel sempurna oleh busa kedap suara yang menggelikan itu.

Ruangan Paling Sunyi Di Dunia

Aku terjatuh kembali ke lantai, masih kelelahan karena tidur yang aku tak tau sudah berapa lama. Saat itulah aku benar-benar menyadari betapa sepinya disini. Ruangan ini tidak hanya menahan suara keluar, tapi juga yang masuk. Tidak terdengar orang lain dari luar, tidak ada suara lalu lintas, bahkan tidak ada suara pipa air yang terpasang di dinding.

Ini benar-benar menggangguku. Aku mencoba menahan napas, dan menempelkan telingaku ke dinding, tapi … hampa. Yang bisa kudengar hanyalah detak jantungku sendiri, dan suara ususku yang sedang mencerna apapun yang aku makan sehari sebelumnya.

Segalanya berjalan semakin buruk. Di dalam ruangan ini, aku adalah satu-satunya sumber suara, dan dengan tidak adanya stimulus eksternal, keheningan ini benar-benar akan membunuhku.

“Tolong, keluarkan aku dari sini!” aku memohon.

Lalu, aku ingat sesuatu. Tidak lebih dari sebuah petunjuk samar dari ingatan yang dalam dan sekilas ke waktu yang telah lama berlalu. Itu adalah pertemuan, percakapan yang aku lakukan dengan seorang pria yang tidak dapat aku kenali.

“Mengapa kamu di sini?” pria itu bertanya.

“Maksud anda pak?”

“Ini bukan tempat yang bagus, Ryan. Kamu masih muda, sehat. Bukankah kamu seharusnya berada di dunia nyata, dan mencari seorang istri?”

“Aku sudah punya …”

Memori singkat dipikiranku itu tiba-tiba terpotong oleh sebuah kerta yang entah darimana melayang di udara. Seseorang mengirimkan catatan melalui langit-langit ruangan ini.

“Hei, apa ini? Biarkan aku keluar!” Aku berteriak ketika aku mencari dari lubang mana pun catatan itu berasal.

Tak ada jawaban, aku kemudian mengambil kertas itu. Rasanya sangat aneh, kertas ini sangat… lembut. Hampir tidak ada suara apapun saat jari-jariku menyentuh catatan itu.

Di catatan tersebut, ada satu baris kalimat yang bertuliskan…

 “Hari 1: Dengarkan.”

“Dengarkan apa, bajingan?” Aku berteriak.

Aku mulai berlarian di sekitar ruangan, mati-matian mencoba melepaskan busa-busa itu dari dinding untuk mencari jalan keluar. Tapi itu adalah pekerjaan yang sia-sia, dan tak lama kemudian, aku jatuh ke lantai karena kelelahan.

Obat bius apapun yang mereka masukan sepertinya masih bertahan di tubuhku, aku tidak bisa berpikir cukup jernih untuk merencanakan pelarianku.

Ada perbedaan yang signifikan antara Tuli dan hidup dalam keheningan mutlak. Hal yang sama berlaku juga untuk yang buta, dengan yang ditempatkan dalam kegelapan total.

Dengan organ sensorik indra yang berfungsi, namun tidak ada yang diterima dari luar, pikiranmu akan membuatnya sendiri untuk menghasilkan rangsangan. Jadi apapun yang terdengar sangat jauh, akan diperkuat ribuan kali lipat.

Saat pikiranku melayang kemana-mana, ingatanku yang lain tiba-tiba menyambar.

“Jadi…” pria itu bertanya. “Kamu kehilangan dia, dan sekarang kamu di sini.”

“Apa yang terjadi dengannya?” lanjut pria itu.

“Aku membunuhnya,” jawabku dengan suara gemetar.

Ketika kesadaranku kembali, aku langsung diserang oleh suara yang dihasilkan oleh organ tubuhku sendri.

“Sialan, diamlah!” aku berteriak pada diriku sendiri.

Tidak ada gema di dalam ruangan. Setiap kata yang aku ucapkan, menghilang begitu saja ke dalam busa isolasi. aku harus terus-menerus berbicara kepada diri sendiri, hanya untuk menjauhkan suara organ tubuhku itu.

Dan saat itulah, pertama kalinya sejak disini aku merasa perlu segera ke kamar mandi.

“Hei, Bagaimana jika aku perlu buang air kecil?” Aku bertanya dengan lantang.

Tiba-tiba, salah satu panel busa muncul dari tanah. Di bawahnya, ada sebuah terowongan kecil yang juga tertutup busa. Bahkan aliran urineku sendiri mengalir secara diam-diam ke bawah sana.

Setelah aku selesai buang air, selembar kertas lain jatuh dari langit-langit. Di sampingnya, aliran air muncul dan menghantam lantai tanpa suara sama sekali, air tersebut langsung terserap oleh busa dan aku segera berlari ke bawah alirannya untuk minum.

Setelah aliran air berhenti, aku mengambil kertas kedua.

“Hari 2: Apakah kamu sudah mendengarnya?”

“Apa-apaan yang kau bicarakan?” aku berteriak kepada siapa saja yang ada disana.

Tapi tetap saja, tidak ada tanggapan.

Aku menghabiskan sebagian besar hari kedua dengan menyelidiki ruangan itu. Sisa obat bius yang sepertinya sudah mulai hilang, membuatku dapat berpikir lebih jernih. Hanya saja, ingatanku tetap samar.

Tidak ada jalan kelular. Tidak ada retakan atau apapun. Semuanya bersih, dan aku sendirian di kamar yang terisolasi ini. Bunyi ususku yang bergolak adalah satu-satunya hal yang menemaniku. Aku sudah mencoba berbaring dalam posisi berbeda untuk meredam suara itu, tetapi rasanya seolah-olah suara itu semakin keras.

Dalam keadaan bingung dan tertekan itu, beberapa memori melewati pikiranku.

“Ini adalah kamar anhedonis. Ruangan paling sunyi di dunia. Balok beton bertumpu pada pelat pegas, diisolasi dengan busa kedap suara, untuk memastikan tidak ada satu pun suara yang masuk atau keluar. Memang ada yang serupa seperti ini di Orfield Laboratories, namun yang ini istimewa, aku mendesainnya sendiri.” kata pria tersebut.

“Pasti mahal. Apa gunanya?” aku bertanya.

“Untuk membuat orang mendengar kebenaran.” jawabnya.

Pada hari ketiga, aku tidak bangun sampai aku mendengar suara samar air menabrak busa. aku bangkit berdiri dan mulai minum dari aliran air yang hanya keluar sebentar itu. Hari itu, mereka menjatuhkan beberapa roti aneh. Terasa berat, dan dikemas dengan potongan-potongan sayuran dan biji-bijian yang aneh, sejenis Neutraloaf.

Sebuah catatan lain juga jatuh di samping makanan dan air.

“Hari 3: Terima,”

Rasanya seperti kenikmatan tiada tara saat aku mendengar suara roti yang sobek ketika aku menggigitnya. Akhirnya ada suara yang tidak keluar dari tubuhku sendiri. Sayangnya, itu hanya sebentar, sesaat setelah roti itu habis, aku kembali terjun ke dalam keheningan total.

Aku mencoba membuat diriku sibuk dengan berbicara sendir, tetapi itu hanya sementara hingga tenggorokanku mulai kering. Aku baru sadar, inilah mengapa mereka sengaja membatasi pasokan airku, karena aku bahkan tidak diperbolehkan untuk berbicara dengan diriku sendiri terlalu lama.

Aku tidak bisa mencegahnya, aku terlalu lemah untuk melawan, terlalu lemah untuk terus berbicara, namu cukup kuat untuk tetap sadar.

Aku hanya duduk, mendengarkan organ tubuhku bekerja. Aku benci, itu menjijikkan, mendengarkan potongan daging yang menghasilkan suara licin dan berdecit yang seolah tidak akan pernah berhenti.



Kemudian, aku mendengar sesuatu yang baru, suara samar yang tersembunyi di balik suara detak jantungku.

“Tolong, hentikan saja. aku tidak tahan lagi,” kata suara itu.

Itu suara seorang wanita. Tedengar tak asing, namun sangat aneh.

“Hai kamu di mana?” Aku berteriak.

“Itu sangat menyakitkan. aku tidak pantas menerima ini, mengapa ini terjadi padaku? “

Tidak ada lokasi yang dapat dilihat untuk mencari suara tersebut. Rasanya seolah-olah itu datang entah dari mana, namun tedengar dari segala penjuru.

“Ayolah, aku perlu tahu dimana kamu berada sehingga aku bisa membantumu!”

“Ryan? Ini sangat menyakitkan, tolong bantu aku! “ dia memohon, sebelum suara itu menghilang begitu saja.

“Linda? Ya Tuhan, ” aku berseru, berdoa agar suaranya kembali.

Itu adalah istriku, suara yang sangat ingin kudengar. aku hampir tidak bisa mempercayainya. Melalui keheningan yang luar biasa, aku mendengar cinta dalam hidupku, namun dia terdengar menderita.

Aku menangis saat ingatan tentangnya mengalir kembali, tentang bagaimana dia meninggal.

“Maafkan aku,” kataku keras-keras. “Aku sangat, sangat menyesal. Tolong maafkan aku.”

Tapi dia tidak nyata. Dia pasti isapan jempol dari imajinasiku, atau halusinasi yang dibawa oleh ruangan sunyi sialan ini.

Saat aku terisak di lantai busa, pikiranku melayang tanpa sadar,kembali ke ingatanku yang terbaru dan kali ini cukup jelas.

“Bagaimana dia mati?” pria itu bertanya.

“Mengapa Anda menanyakan pertanyaan-pertanyaan ini kepadaku? Aku sudah menandatangani dokumen untuk proyek Orcus. “

“Karena kamu mungkin bisa berbicara dengannya lagi.”

Hari keempat tiba, dan selembar kertas lain jatuh dari langit-langit.

“Hari 4: Jangan abaikan mereka. Mereka sama nyatanya dengan kau dan aku”

Aku merobek catatan itu. Bukan karena marah, tapi untuk menikmati suara yang nyaris tak terdengar bahkan ketika aku mengoyaknya hingga potongan tipis. Aku bahkan mencoba merobeknya selama mungkin dan menikmati setiap momen yang ada sebelum aku dipaksa kembali ke dalam keheningan.

Tidak lama setelah keheningan kembali, aku mulai mendengar bisikan di sekitarku. Awalnya, itu hanya suara yang tidak bisa kupahami, suara yang tidak masuk akal. Tapi, di antara itu semua, aku mendengar Linda memanggilku.

“Ryan, menjauhlah. Tidak aman di sini! ” dia memohon.

Tapi dia bukan satu-satunya. Ada lusinan bisikan teredam di sekitarku. aku mencoba menyaringnya, hanya berfokus pada suara istriku yang indah dan menghantuiku, dan seiring waktu berlalu, suara itu  menjadi semakin keras.

Hari kelima tiba. dan aku mersasa sudah berada di ambang kegilaan. Bisikan-bisikan itu membuatku terjaga selama berjam-jam, hingga catatan berikutnya diam-diam menyentuh tanah.

“Hari 5: Suara itu akan membebaskanmu”

Aku kembali merobek catatan itu, tapi hanya kelegaan sementara yang aku dapatkan. Setelahnya, suara-suara itu langsung kembali menyerangku. Setiap jam berlalu, membuatnya lebih keras, dan aku tidak dapat melakukan apa pun untuk menghalangi mereka.

Hari keenam-pun datang dan pergi dalam sekejap mata, suara-suara itu telah menyatu. Kekacauan suara yang datang dari sekitarku tidak pernah berhenti sedetik pun. Bahkan saat aku berteriak dengan suara serak, mereka terus berdatangan. Satu-satunya hal nyata yang aku ingat dari hari itu, adalah catatan yang jatuh dari langit-langit.

“Hari 6: Tetap diam, dan biarkan mereka membimbingmu.”

Begitu aku kembali ke keheningan, aku kembali duduk, dan menyerah. Aku membiarkan suara-suara itu memenuhi pikiranku, mereka semakin keras, semakin keras, dan semakin keras.

Saat itulah aku menyadari, bahwa mereka sama sekali bukan bisikan.. tapi JERITAN!.

Masing-masing dari seribu suara yang menghantuiku, adalah teriakan minta tolong. Orang-orang, dari mana pun mereka berasal, seperti merasakan sakit yang tiada henti. Mereka memohon padaku mencari jalan keluar, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain mendengarkan penderitaan mereka yang tak terbatas.

Di tengah semua itu, aku masih mendengar suara istriku. aku tidak tahu mengapa miliknya lebih keras, atau lebih jelas dari yang lain. Aku telah yakini pada gagasan bahwa itu semua hanya ada di kepala aku, tetapi kewarasanku tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Tak lama lagi, aku akan menyerah.

“Biarkan aku keluar dari sini!” aku berteriak sekeras yang aku bisa, dengan suara serakku.

Pikiranku terus berlari ke arah yang lebih buruk. Hari ke delapan aku menjadi tak bisa berpikir sama sekali, dan hari kesembilan tidak berjalan lebih baik. Aku sudah mulai berhenti membaca catatan.

Jeritan demi jeritan tak ada hentinya menyerangku. Di antara mereka, aku bisa mendengar kata-kata dan frasa yang jelas, hingga di hari kesepuluh. Aku mulai bisa memahami mereka.

“Tolong bantu aku!” seorang anak menangis.

“Kamu tidak nyata, tidak ada di antara kamu yang nyata,” jawabku.

“Tapi kamu bisa mendengar kami!”

“Kau hanyalah isapan jempol dari pikiranku yang rusak, kau semua ada di kepalaku.”

“Itu tidak berarti kita tidak nyata. Aku – aku bisa membuktikannya! ”

“Bagaimana?”

“Catatan terakhir yang jatuh dari langit-langit. Itu daftar nama. ”

Aku melirik ke kertas yang masih belum kuperiksa. Saat aku mengambil satu, aku menyadari bahwa dia benar.

“Henry Jones, Peter Dawson, Alex Moore, David Lawrence.”

aku menjatuhkan kertas itu dan mengambil yang lain. Daftar yang sama, orang yang sama, tapi tidak ada instruksi.

“Siapa mereka?” aku bertanya.

“Mereka adalah orang-orang yang harus kau temukan,” jawab anak itu. “Aku salah satu dari mereka. Namaku Alex.”

“Apa yang terjadi denganmu?”

Tidak terdengar, suaranya mulai menghilang, digantikan oleh jerita siksaan yang tak terhenti. Aku terus menatap kerta itu, dan ketika aku membaca nama-nama itu sekali lagi, ingatanku yang lain melintas.

“Apakah kamu tau apa yang harus dilakukan?” pria itu bertanya.

“Ya pak.” jawabku

“Kami perlu menenangkanmu, dan kamu akan menjalani terapi kejut listrik. Ini satu-satunya cara agar kamu rentan terhadap lingkungan tersebut ”

“Aku mengerti.” jawabku tegas.

“Ini bisa jadi berbahaya.”

“Aku tidak peduli.”

“Ini juga berarti kamu akan sangat bingung saat bangun nanti. Kamu mungkin akan lupa siapa aku, atau bahkan siapa dirimu sendiri. Itulah mengapa sangat penting bagimu untuk selalu mengingat misi ini. Jangan lupakan itu dan biarkan itu menjadi  satu-satunya hal yang kamu ingat.”

Keesokan harinya, aku hanya duduk di sudut ruangan, hampir tidak minum atau makan sama sekali. Yang kulakukan hanyalah mengulangi nama-nama di daftar itu, berharap misteri ini entah bagaimana akan terurai sendiri.

“Henry Jones… Peter Dawson… siapa kalian?” Aku bergumam pada diriku sendiri.

Kemudian, seolah-olah ada tombol di otakku yang ditekan, aku tiba-tiba mengerti. Jeritan, bisikan, suara-suara, semua yang kudengar selama sebelas hari terakhir ini menjadi masuk akal. Sebuah tabir telah diangkat dari pikiranku, dan aku dapat memahami semua yang mereka coba katakan kepadaku.

“Ryan?” istriku memanggilku.

“Linda, kamu masih bersamaku,” jawabku dengan sedikit kegembiraan.

“Aku tidak punya banyak waktu. Sulit untuk tetap fokus, ” katanya..

“Apa yang terjadi padamu?”

“Itu tidak penting sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa itu bukan salahmu. “

Kata-kata penghiburannya itu hampir tidak mungkin menutupi rasa sakit yang dialaminya.

“Ya itu. aku dulu – ”

Sebelum aku bisa menyelesaikan kalimatku, aku disela oleh lebih banyak teriakan yang memekakkan telinga.

“Sudah waktunya kamu pergi,” katanya.

“Tunggu, apa kamu baik-baik saja? Maksudku, di mana kamu berada. ”

Dia tediam.

“Tidak Ryan, tidak satupun dari kita yang baik-baik saja. Maaf, “ katanya dengan suara gemetar.

Kalimatnya itu menjadi kalimat terakhirnya, dan sebuah kerta kembali jatuh dari langit-langit.

“Hari 12: Apakah kamu menemukannya?”

Aku meluangkan waktu sejenak untuk mendengarkan. Di sana, di antara rasa sakit, aku mendengar mereka memanggilku.

Mereka telah terpisah dari proyek yang sama denganku saat ini, dan mereka telah meninggal. Namun, mereka memegang petunjuk yang aku butuhkan untuk keluar dari ruangan ini.

Ada sesuatu yang tersebar di antara busa-busa ruangan ini. Tujuh tombol yang harus ditekan dalam urutan tertentu. Berdasarkan suara itu, aku akhirnya bisa dengan mudah membuka pintu dari ruangan ini.

Menemukan mereka saja sudah merupakan prestasi tersendiri untukku, jadi menyimpulkan urutan tombol yang benar berarti aku telah melakukan dengan sisi lain kehidupan.

Aku melangkah keluar. Untuk pertama kalinya dalam hampir dua minggu, aku melihat manusia lain.

Selamat datang kembali, Ryan. Kamu akhirnya berhasil,” kata pria itu.

Aku tidak menjawab, aku hanya berjalan melewatinya, dan melintasi lorong panjang menuju ujung ruang anhedonik.



Begitu berada di luar, aku langsung jatuh ke tanah, dan mendengarkan semua suara yang dulu tidak penting di sekitarku. Air mengalir melalui pipa, dengungan bisu dari bola lampu tua yang berpendar, langkah kaki yang berjalan di sekitar fasilitas, semuanya terasa seperti surga.

Begitu aku terbiasa dengan dunia nyata, pria itu segera menghampiriku. Dia bos-ku, aku bisa mengingatnya, tetapi ingatanku masih kabur karena perawatan apa pun yang telah diberikan sebelum memasuki ruangan.

“Apakah kamu sudah siap untuk berbicara?” Dia bertanya.

Aku duduk di dekat meja, mendengarkan kursi-kursi bergesekan dengan lantai yang kokoh.

“Nama-nama itu,” katanya. “Apakah kamu mengingat mereka?”

“Henry Jones, Peter Dawson, Alex Moore, David Lawrence,” jawabku tanpa henti.

“Dan kamu tau apa yang terjadi pada mereka?”

Aku mengangguk.

“Katakan padaku.”

“Henry Jones, usia: 75. Meninggal karena kanker paru-paru stadium empat. Dia mendaftar untuk proyek Orcus sebulan sebelum kematiannya. Pembayaran seharusnya dikirim ke keluarganya. “

“Lanjutkan.”

“Peter Dawson, usia: 32. Didiagnosis dengan ALS, dan segera mendaftar untuk proyek Orcus. David Lawrence, usia: 56. Mati karena gagal jantung. “

“Dan?”

“Alex Moore. Dia bukan bagian dari proyek, dia masih anak-anak. aku masih tidak tahu apa yang terjadi padanya. “

“Kami juga tidak,” kata pria itu sambil tersenyum padaku, seringai yang lahir dari penyelesaian niat egoisnya.

“Kerja bagus, dan bagaimana kabarnya sekarang?” dia melanjutkan.

Aku memikirkan kembali semua yang kudengar. Melalui jeritan-jeritan itu, aku diberi sebagian besar potongan-potongan petunjuk. Aku butuh beberapa saat untuk menyatukan semuanya.

“Mereka kesakitan. Mereka mengatakan momen kesadaran terakhir yang pernah mereka alami, adalah apa yang telah mereka alami setiap saat sejak kematian mereka. Tidak ada tempat aman di sisi lain, tidak ada surga, hanya rasa sakit abadi yang mereka rasakan sebelum kematian. “

Dia menuliskan beberapa catatan di selembar kertas. Senyuman masih memenuhi wajahnya, seolah teorinya telah dikonfirmasi dengan benar.

“Terima kasih Ryan. Kami di Artifex berhutang budi kepadamu atas layananmu. Ini menandai akhir dari kemitraan kita. Seperti yang telah disepakati, Keinginanmu akan dipenuhi dengan baik,” katanya, sambil memberi isyarat kepada beberapa penjaga untuk membawaku pergi.

Saat mereka mengantarku menuju pintu keluar. Bos-ku memberikan kalimat terakhir.

“Nikmati sisa hidupmu, Ryan,” katanya.

Aku mengemasi beberapa barang yang kumiliki. Masih ada banyak lubang dalam ingatanku selama setahun terakhir, tapi aku rasa itulah sebabnya mereka membiarkan aku pergi. aku tidak tahu apa-apa tentang orang yang bertanggung jawab, bahkan pengetahuan aku tentang proyek Orcus masih sedikit.

Begitu aku kembali ke rumah, aku mulai mengingat kehidupan yang telah aku tinggalkan. Kenangan kasar tentang istriku yang sudah meninggal.



Aku mendaftar dengan proyek itu untuk kabur dari kegagalanku dalam menjaga istriku. Dan ketika pertama kalinya pria itu memberi tahu bahwa aku dapat berbicara dengannya lagi, aku sangat gembira.

Namun Itu adalah sebuah kesalahan.

Karena, meski sekarang aku berada seratus mil jauhnya dari kamar anhedonik, aku masih mendengar mereka berteriak. Mereka tidak berhenti, mereka sangat kesakitan. Dan, begitu kita mati, kita semua akan bergabung dengan mereka dalam penderitaan tersebut.

There are things known and there are things unknown, and in between are the doors of perception ~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
error: Alert: Konten Dilindingi !!