Kenanganmu Tidak Akan Mati Bersamamu

CreepyPasta Kenanganmu Tidak Akan Mati Bersamamu
CreepyPasta Indonesia

Aku berada di sebuah ruangan yang tampak seperti lantai dasar gedung perkantoran. Ada meja dengan resepsionisnya yang sedang sibuk mengetik, dan tangga menuju ke lantai berikutnya. Tapi desainnya… semuanya putih.

Aku harus memejamkan mataku sesaat, diburakan oleh warna cerah ruangan ini. Saat mataku sudah dapat beradaptasi. Resepsionis itu memperhatikanku.

“Oh! Halo! Tolong kemari. Aku tidak akan menggigit, tenang saja.”

Aku dengan ragu melangkah ke mejanya.

“Tempat apa ini?” aku bertanya.

Dia tersenyum. “Ini adalah akhirat.”

“Maksudmu?” Tanyaku bingung.

“Iya. Kamu mengalami kecelakaan yang mengerikan. Terjatuh dari tangga dan kepalamu terbentur. “

Aku mencoba mengingatnya, tetapi semuanya buram.

“Kamu diharapkan berada di atas, di Kamar 371. Aku akan mengantarmu ke sana!”

Sebelum aku bisa menolak, dia berjalan keluar dari belakang meja dan meraih lenganku, menarikku menaiki tangga dengan cengkeraman yang kuat, dan tersenyum sepanjang jalan.

“Jangan terlihat begitu menyedihkan, sayang. Ini akan berakhir sebelum kamu menyadarinya. Prosedurnya cepat. Lalu kamu bisa ke tahap selanjutnya”

“Prosedur? Tahap selanjutnya? Kemana kau membawaku?”

Dia tersenyum lagi.

“Kalian manusia selalu ingin tahu. Sifat yang aneh. “

Tak lama kemudian, kami tiba di tempat yang kukira adalah Kamar 371, pintu hitam di ujung aula putih yang panjang. Pemandangan itu benar-benar membuatku gugup.

Kita sampai!

Resepsionis itu mengetuk pintu dua kali. Lalu seorang pria tua membuka pintu untuk menyambut kami. Dia mungkin berusia 50-an. Berpakaian bagus dan berkumis abu-abu.

“Ah iya. Ini pasti kedatangan terakhir kita. Apa kabar?” tanyanya sambil meletakkan tangan di pundakku.

“Sebenarnya aku agak bingung. Apakah ini… surga?” Saya bertanya.

Pria dan wanita itu terkekeh.

“Aneh sekali bagaimana mereka semua menanyakan itu. Baiklah, mari kita mulai. ”

Resepsionis menyerahkanku kepada pria itu dan menutup pintu di belakang kami. aku sekarang berada di ruangan yang seluruhnya hitam dan kecil. Ada kursi, mirip dengan yang mungkin kamu temukan di dokter gigi, dan podium di belakangnya, dengan beberapa alat.

Sebelum aku bisa melihat semuanya lebih baik, pria itu langsung mendorongku ke kursi. Kursi itu secara otomatis mengekang pergelangan tangan dan kakiku.

“Apa-apaan ini?”

Aku mencoba membebaskan diri, tetapi tidak ada gunanya.

“Tenang. Kau hanya akan memperburuk keadaan untuk dirimu sendiri. Lebih baik tenangkan dirimu karena yang kau lakukan itu tidak ada gunanya.”

Orang lain memasuki ruangan. Seorang pria yang lebih muda.

“Henry. Ya Tuhan, dariman asaja kamu? Cepat, kontrolnya. “

“Ya pak. Maaf pak.”

Henry melangkah ke podium dan mulai menyesuaikan entah alat apa yang ada di sana. Pria tua itu kemudian berjalan ke arahku dan tersenyum, dan kemudian menarik perkakas perak tajam dari sakunya.

“Jangan melawan. Ini hanya akan memberikan beberapa sayatan kecil. Itu saja.”

Dalam sekejap, perak tajam itu menyentuh keningku, dan berakhir begitu cepat, bahkan aku hampir tidak punya waktu untuk meringis. Pria itu telah mengukir tiga garis lurus pada kulit tepat di bawah garis rambutku.

“Nah. Itu tidak terlalu buruk kan. Henry, apakah kita siap?”

“Ya pak. Semuanya telah dikalibrasi. “

“Bagus.”

“Apa yang kau lakukan padaku?!” Aku menimpali.

Mereka berdua tertawa. Kemudian, pria tua itu membungkuk.

“Kami sedang mengekstraksi esensimu. Tapi pertama-tama, kami perlu mengakses ingatan mu terlebih daulu. Yang paling kuat. Kenangan yang melekat pada dirimu, bahkan setelah sekian lama berlalu. Kamu punya itu, kan? ”

Aku merasa pria bernama Henry itu memasangkan helm di kepalaku. dan helm Itu menyusut agar sesuai dengan garis kepalaku.

Pria tua itu mengetuk kepalaku “Ini.. di sini akan menunjukkan kepada kita apa yang perlu kita lihat. Kemudian, sebuah jalur akan menyala. Sebuah peta jalan menuju jiwa manusia. Itulah yang kami butuhkan. NYALAKAN, HENRY! ”

Jarum tajam menembus luka di dahiku dari dalam helm. Aku merasakan sakit yang membakar saat jarum itu menembus tengkorakku.

Aku berteriak, tetapi orang-orang di ruangan itu tidak bereaksi. Tiba-tiba, sebuah gambar muncul di dinding hitam di depanku, hampir seperti layar proyeksi. Itu adalah… sebuah kenangan. Salah satu kenanganku.

Ketika aku melihatnya, aku terdiam dan seseuatu terjadi. Kesandaranku dengan perlahan dipindahkan. Dalam sekejap, aku dibawa ke tempat dalam kenangan tersebut, seaakan menghidupkan kembali momen itu.

•••

Rebecca dan aku menatap rumah pertanian itu. Tidak banyak yang bisa dilihat, tapi tempat ini punya potensi. Tanah di sekitarnya sangat luas- dikelilingi oleh hutan yang indah.

“Apakah itu semua yang kau harapkan?” Rebecca bertanya, memelukku.

Ya, kau benar.”.

Aku meletakkan lenganku di pinggangnya dan berbalik menatapnya. Kami baru bersama setahun, tapi aku tahu bahwa dia adalah satu-satunya untukku. Aku menaruhkan hidupku padanya dan mulai hidup bersama. Aku tidak akan bisa lebih bahagia dari ini. 

•••

Aku terbangun di ruangan hitam seperti penyelam yang kehabisan udara. Paru-paruku rasanya terbakar. Dan menghidupkan kembali ingatan itu ternyata bukanlah prosedur yang menyenangkan.

“Tidak, Henry! Apa yang sudah kubilang ribuan kali sebelumnya? Kenangan indah tidak akan berhasil. Mereka tidak cukup kuat. Temukan sesuatu yang mengerikan, dan lakukan dengan cepat sebelum dia mati. ”

“Seorang yang tak bisa ku selamatkan?” tanyaku.

Resepsionis masuk dan memberikan pria itu secangkir … yang mungkin bisa kutebak, Kopi

“Terima kasih, Mildred. Tuhan tahu aku membutuhkan ini. “

Dia pergi. Henry kembali mengotak-atik mesin itu dan memetakan arah untuk momen yang berbeda di masa laluku yang kelam. Dalam sekejap, aku dipindahkan ke sana. Ini adalah satu kenangan yang dengan susah payah coba kulupakan.

•••

Hari sudah gelap, sekitar tengah malam. Aku terbangun di tempat tidur yang kosong. Aku pikir Rebecca mungkin sedang ke kamar mandi. Aku tidak bisa menjelaskannya, tetapi, ketika aku menunggunya kembali, aku merasa seperti ada sesuatu yang salah.

Jenis perasaan yang sama ketika kamu memasuki ruangan dan melihat bingkai foto yang agak miring. Kamu bisa mengatakan ada sesuatu yang salah, tetapi tidak pernah bisa memastikan itu apa.

Aku berbaring di ranjang untuk waktu yang cukup lama dan membiarkan diriku tenggelam dalam keresahanku sendiri. Hingga aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur dan melihat apakan Rebecca baik-baik saja.

Sesuatu menarik perhatianku ke jendela. Ada sosok di halaman belakang rumah. Aku melangkah ke jendela untuk melihat lebih jelas. Itu adalah Rebecca, yang terbaring di tanah.

Aku panik dan segera berlari keluar rumah, meneriakkan namanya. Saat aku sampai kesana, aku berlutut di sampingnya. Dia berlumuran darah, memegang pisau dapur. Dia menangis dan berbicara dengan sedikit energi yang tersisa.

“Maafkan aku. Aku minta maaf. Aku harus melakukan ini. Suara-suara itu. Mereka tidak akan berhenti. Aku yang harus membuat mereka berhenti!”

Suaranya perlahan menghilang. Kehidupan meninggalkan tubuhnya. Selama-lamanya

•••

Sekali lagi, aku terbangun di ruangan hitam terkutuk ini, aku ditinggalkan untuk merefleksikan masa laluku. Rebecca sakit jiwa. Dia menemui psikiater, tapi, tanpa sepengetahuanku, dia berhenti minum obat. Aku tidak menyangka kondisinya akan menjadi seburuk itu. Aku tidak tahu dia akan berpikir untuk bunuh diri.

Dan tentu saja, itu semua salahku. Aku seharusnya melihat gejalanya. Aku seharusnya mencari psikiater yang lebih baik. Aku seharusnya bangun lebih cepat malam itu.

Sesi menyalahkan diriku sendiri kemudian diinterupsi oleh pria tua itu.

“Henry, itu dia! Kenangan yang sempurna! Teruskan, kita butuh yang lain! Hanya satu lagi! Cepat cari-“

Suara cairan yang bertemu dengan listrik menggangu telingaku. Percikan cairan itu terbang melewati penglihatanku. Pria itu menumpahkan minumannya di mesin kontrol.

“Ya Tuhan.” Aku mendengar Henry berbicara.

“Henry, bagaimana kamu bisa membiarkan ini terjadi?” kata pria tua itu.

“Kenapa jadi aku?!”

Saat itulah gambaran baru muncul di dinding, dan aku sekali lagi dipindahkan ke tempat lain. Kali ini, aku tidak tau harus mengharapkan apa.

•••

Darah. Setidaknya, seperti itulah rupanya. Lautan merah, berderu di halaman belakang rumahku. Di tengah lautan darah ini, sebuah pintu, tanpa arsitektur penghubung apa pun, berdiri diam di sana meskipun terjadi kekacauan di sekitarnya. Aku terombang-ambing di arus yang deras, bahkan hampir tidak bisa menjaga kepalaku tetap berada di atas ombak.

Saat itu, aku melihat pintu tersebut terbuka. Istriku, Rebecaa ada di dalam. Dia merentangkan tangannya, dan lautan merah ini membawaku ke hadapannya, mendaratkanku di sana dan membuatku memuntahkan apapun yang ada di dalam perutku.

Aku menoleh dan melihatnya melangkah keluar pintu. Dia berjalan keluar ke halaman, dan lautan merah itu terbelah menjadi dua sisi. Ia kemudan berhenti tepat di depanku dan menatapku. Dia sangat cantik. Cantik seperti pertaman kali kita bertemu.

“Halo cintaku.”

Aku mencoba menjawab, tetapi masih ada air di tenggorokanku.

Aku berkedip dan dia meghilang. Namun suaranya memenuhi telingaku dari belakang.

“Kenapa kamu tidak menyelamatkanku?”

Aku berbalik dan melihatnya, ia berlumuran darah. Itu adalah keadaan yang sama ketika aku menemukannya di halaman malam itu.

“Apakah aku tidak cukup baik? Apakah kamu ingin aku mati?”

Aku berusaha berdiri dan menghampirinya, air mata mengalir di pipiku tanpa ku sadari.

“Maafkan aku, Rebecca. Aku tidak tahu. AKU …”

“Itu tidak cukup!” Dia menyela.

Dia menghilang lagi. Aku berbalik. Dan dia ada di sana, dalam keadaan bersih, menggendong bayi di pelukannya.

“Ini Abigail. Bukankah dia sangat berharga? “

Aku gemetar.

“Kita tidak pernah punya anak, Rebecca.”

“Kamu benar, sayang. Ini adalah bayi yang akan aku lahirkan, seandainya aku hidup cukup lama untuk memilikinya. Apakah kamu tidak ingat telah memilihkan sebuah nama? Jack untuk laki-laki, sama seperti namamu dan Abigail untuk perempuan. ”

Aku ingat. Kami pernah berbaring di halaman selama berjam-jam pada suatu malam, menatap bulan purnama dan mendiskusikan ke mana tujuan hidup kami kedepannya. Pada satu titik, kami berbicara tentang anak-anak. Rebecca ingin tiga, tapi aku bersikeras tidak lebih dari dua.

Satu laki-laki dan satu perempuan. Jack dan Abigail. Kami akan mengabadikan masa kecil mereka dan memotret setiap saat. Mengasuh anak tidak akan mudah, tetapi kami sepakat bahwa semuanya akan sepadan.

“Aku ingat, Rebecca.”

Dia berjalan ke arahku dan menyerahkan bayiku. Aku menatap matanya. Dia sempurna. Sulit untuk mengatakan bagaimana aku tahu, tapi itu dia. Abigail yang sama yang kita bayangkan bertahun-tahun lalu.

“Seharusnya kau menyelamatkanku, Jack. Sekarang, mereka tidak akan pernah ada. ”

Angin kencang datang dari hutan. Aku menyaksikan kengerian saat wujud Abigail berubah menjadi debu dan berhamburan melalui celah di antara jemariku. Aku hanya mengenalnya sebentar, tapi tetap saja, aku menangis. Gadis kecilku, pergi.

“Mengapa kau melakukan ini?” Aku memohon.

Wajahnya sekarang diwarnai dengan amarah.

“Kamu pantas merasakan penyesalan yang sama. Aku menancapkan pedang ke kulitku, padahal kamu bisa menghentikannya. Aku membutuhkanmu malam itu, dan kamu tidak ada di sana. “

Mendengar itu, Air mataku  pecah dan mengaliri wajahku dengan deras. Begitu juga dengan lautan darah di sekitar kita, yang menjulang di atas kepala dan dalam waktu singkat menyapuku dengan ombaknya.

Aku melihat Rebecca berjalan melintasi lautan itu tanpa masalah dan masuk ke pintu merah tersebut. Dia menoleh ke belakang dan mengatakan kalimat terakhir.

“Selamat tinggal, Jack.”

Siksaan ini akan berakhir. Aku membiarkan diriku tenggelam di kedalaman laut merah yang akan menjadi peristirahatan terakhirku ini. Setelah semuanya diambil, aku benar-benar ingin mati.

•••

Aku seperti berada di batas keluar dan masuk dari kesadaranku. Aku bisa mendengar Henry dan pria tua itu berdebat.

“Dia tidak melakukannya dengan baik di sana. Kita mungkin harus menghentikan yang ini. Kita akan kacau jika ini sampai keluar. “

“Tenangkan dirimu, Henry! Andai saja kita bisa mendapatkan satu lagi yang bagus … ”

Itu adalah hal terakhir yang kudengar sebelum pingsan. Untuk beberapa saat, aku melayang melalui kehampaan hitam seperti tidur tanpa mimpi, sampai, akhirnya, sesuatu menarikku keluar.

Suara Rebecca. Irama gemuruh yang akan membangunkan bahkan beruang dari hibernasinya.

“BANGUN, JACK!”

•••

Aku terbangun di sebuah ruangan putih yang familiar. Itu adalah rumah sakit.

Seorang perawat sedang memeriksa kondisi vital-ku hingga akhirnya dia melihatku.

“Astaga! Anda sudah bangun! Luar biasa! Anda sudah tak sadar cukup lama. ”

“Apa yang terjadi?” Tanyaku dengan cibiran grogi.

“Anda ditemukan di dalam rumah Anda, di bawah tangga. Dan anda mengalami koma selama hampir seminggu. “

Aku mencoba untuk duduk. Namun Dia mendorong bahuku kembali ke bawah.

“Tolong istirahat. Anda sudah kehilangan banyak elektrolit. Saya akan pergi ke dokter. Dia akan membantumu. Tunggu sebentar! ”

Perawati itu pergi dan aku mencoba menenangkan diri.

Comatose, ya? Kelalahan ekstrem, Mimpi buruk yang aneh, Kenangan yang terkekang, Pekerjaan.

Aku mengeluarkan tawa yang tidak wajar, kagum bahwa otakku bahkan dapat membangun dunia mimpi seperti itu. Tapi tetap saja, mataku tak dapat dipenjamkan ketika aku mengingat Rebecca dan putri kami yang belum lahir.

Setelah beberapa saat, dokter masuk dan menyapaku. Dia menjelaskan keadaanku yang babak belur dan menyarankanku untuk tinggal selama beberapa hari ke depan. Aku setuju.

Dia membahas poin-poin penting dari perawatanku, tetapi kemudian secara tiba-tiba ia membahas hal lain.

“Ada sesuatu yang … mengganggu,  yang tidak bisa kami jelaskan.”

“Ada masalah? Apa itu?” tanyaku.

“Emm, saat kamu masuk ke sini, kamu batuk darah. NamunkKami tidak menemukan tanda-tanda perdarahan internal, jadi kami mengirimkan sampel untuk diuji. Ternyata, itu bukan milikmu. Kami melakukan referensi silang dengan pasien lain di database rumah sakit, dan hasil adalah.. kejadian bunuh diri tahun lalu. Istrimu, Rebecca. ”

Aku terkejut.

Bagaimana ini bisa terjadi? Kecuali kalau…

“Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan. Apa yang terjadi dengan kepalamu?” kata dokter itu.

“Kepalaku?” Tanyaku, tidak yakin yang dia maksud. Saat itulah aku melihat ada perban tipis di kepalaku.

“Ini, lihatlah.”Dia memberiku cermin dan dengan hati-hati melepas perbannya.

Saya sangat ketakutan dengan apa yang kulihat.

Di atas kedua mataku, ada tiga luka lurus yang terukir sempurna di sana.

There are things known and there are things unknown, and in between are the doors of perception ~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
error: Alert: Konten Dilindingi !!