Legenda Urban Jepang: Kankandara (Part 3)

Legenda Urban Jepang Kankandara (Part 3)

“H-hei, ada apa…?” kataku, tanpa sadar melihat apa yang dia soroti.

Dia menyinarinya di bawah sebatang pohon, di tengah deretan pohon besar. Dalam bayang-bayang, wajah seorang wanita menatap ke arah kami. Dia menjulurkan setengah wajahnya tiba-tiba dan menatap kami, tidak terpengaruh oleh cahaya terang sama sekali.

Dia membuka mulutnya lebar-lebar, menunjukkan giginya, sementara matanya tetap tertuju pada kami.

“Aaaahhhhhhhh!!!!”

Kankandara (Part 2)

•••

Seseorang berteriak, aku tidak tahu siapa, kemudian pada saat yang sama kami berbalik dan berlari kembali. Pikiranku menjadi kosong, tetapi tubuhku melakukan yang terbaik untuk memilih tindakan yang benar. Bahkan tidak ada waktu untuk saling memandang, masing-masing dari kami berlari secepat mungkin kembali ke pagar.

Segera setelah kami melihat pagar, kami melompat dan bergegas melewatinya, menghantam tanah dan ingin berlari secepatnya ke pintu masuk hutan. Tapi, mungkin dalam ketakutan dan kebingungannya, A tersangkut saat mencoba melewati pagar.

Aku: “A! Ayo!”

B: “Hei, cepatlah!”

Tak satupun dari kami tahu apa yang harus dilakukan sementara kami menunggunya.

Aku: “Apa itu tadi? Apa itu sialan?!”

B: “Aku tidak tahu! Diamlah!”

Kami telah memasuki keadaan panik total. Kemudian…

Cringg!! Cringg cringggg!

Suara mengerikan dari lonceng yang tak terhitung jumlahnya berdering lagi, dan pagar mulai bergetar.

Apa…?! Dari mana asalnya…?! Kami melihat sekeliling, bingung. Itu asalnya dari gunung, arah yang berlawanan dari pintu masuk ke hutan. Tapi kami tidak tahu apakah itu semakin dekat atau hanya pagarnya yang bergetar lebih keras.

Aku: “Tidak mungkin tidak mungkin!”

B: “Ayo sialan, cepatlah!”

Aku tahu kata-kata kami hanya membuat A semakin bingung, tapi kami harus buru-buru. A benar-benar kesulitan melewati pagar. Tepat ketika kami ingin membantunya dari puncak pagar, mata kami tertuju ke tempat lain.

Tubuhku gemetar dan aku basah kuyup oleh keringat. Aku tidak bisa berbicara. Kami bukan satu-satunya yang menyadarinya, dan A menoleh untuk melihat apa yang kami lihat.

Bergerak dari arah pagar yang membentang ke arah pegunungan, makhluk itu menempel di sisi kami berada. Apa yang awalnya kami pikir hanya sebuah wajah, pada kenyataannya, memiliki tubuh bagian atas yang telanjang, dengan tiga tangan di setiap sisi.

Makhluk itu dengan terampil menggunakan lengan-lengannya untuk memanjat tali dan kawat berduri, mulutnya terbuka lebar, seperti laba-laba yang bergerak dengan anggun melalui jaringnya. Sialnya dia bergerak tepat ke arah kami.

Ketakutan yang luar biasa mencengkeram tubuhku.

“Aaaaahhhhhh!!”

A tiba-tiba melompat dari atas pagar, mendarat tepat di atas tubuhku dan B. Terkejut dengan pemandangan di depan, kami membantu A berdiri dan berlari bersamaan.

Kami tidak bisa melihat kebelakang. Aku fokus pada apa yang ada di depan dan berlari secepat yang kubisa. Jika kami mempertahankan kecepatan kami saat ini, tidak akan memakan waktu lebih dari 30 menit untuk keluar dari hutan, tetapi entah mengapa rasanya seperti kami telah berlari selama berjam-jam.

Ketika tepi hutan mulai terlihat, terlihat juga bayangan beberapa orang. Tidak mungkin … kami bertiga berhenti, dan mengatur napas, kami mencoba melihat siapa itu. Aku tidak tahu siapa, tetapi beberapa orang berkumpul di sana. Untungnya bukan makhluk itu. Segera setelah kami yakin, kami langsung berlari lagi ke kerumunan tersebut.

“Hei, mereka keluar!”

“Tidak mungkin … apakah mereka benar-benar melewati pagar itu ?!”

“Hai! Cepat dan beritahu istrimu!”

Kelompok itu bergegas ke arah kami, berisik sekali. Aku tidak mengerti apa yang mereka katakan kepada kami; pikiran ku dan teman-temanku kosong. Kami dimasukkan ke dalam mobil dan, dibawa ke aula pertemuan yang digunakan untuk berbagai fungsi dan acara padahal saat itu sudah pukul 3 pagi.

Ketika kami masuk ke dalam, ibu dan kakak perempuanku ada di sana, begitu juga ayah A, dan ibu B. Ibu B tidak mengatakan sepatah kata pun, dan bahkan ibuku sendiri menangis. Menurut A, dia juga belum pernah melihat ayahnya dengan ekspresi seperti itu.

Ibu B: “Kalian semua selamat… terima kasih Tuhan!”

Berbeda sekali dengan ibu B, Ayah A justru memukul A, begitu juga Ibuku yang justru memukulku. Tapi saat itu, ibu mengucapkan kata-kata paling hangat yang pernah kudengar dari mulutnya. Setelah kami menghabiskan beberapa waktu dengan keluarga kami masing-masing, ibu B mulai berbicara.

Ibu B: “Aku sangat menyesal. Baik suamiku dan aku sendiri, bertanggung jawab atas kejadian malam ini. Aku sangat, sangat menyesal. Tidak ada kata…”

Dia menundukkan kepalanya, berulang-ulang. Melihatnya bertingkah seperti itu tidak hanya di depan keluarga lain, tapi di depan anak-anak, membuatku merasa tidak enak.

Ayah A: “Tidak apa-apa. Pada akhirnya, mereka semua aman sekarang.”

Ibuku: “Benar. Itu bukan salahmu.”

Setelah itu orang dewasa kebanyakan berbicara satu sama lain, dan kami berdiri di sana dengan tercengang. Bukan hanya karena sudah larut, tapi mereka memastikan kami baik-baik saja, jadi tanpa penjelasan kami semua pulang.

Aku dibangunkan oleh saudara perempuanku sekitar jam makan siang keesokan harinya. Ketika aku membuka mata, aku bisa melihat dia ingin melanjutkan percakapan tentang apa yang terjadi di malam sebelumnya.

Aku: Apa?

Kakakku: “Ibu B menelepon mencarimu. Sesuatu yang mengerikan telah terjadi.”

Aku mengambil gagang telepon dan ibu B mulai meneriakiku dengan nada mengancam.

Ibu B: “B sedang… B bertingkah aneh! Apa yang kamu lakukan di sana kemarin malam?! Kalian tidak hanya melewati pagar, kan ?! ”

Sepertinya aku tidak bisa menjelaskannya melalui telepon, jadi aku menutup telepon dan berjalan ke rumah B. A, yang telah menerima panggilan yang sama, juga ada di sana, dan kami mendengar langsung dari ibu B apa yang sedang terjadi.

Menurut ibunya, setelah B pulang pada malam sebelumnya, dia mulai mengeluh bahwa lengan dan kakinya sakit. Apakah dia tidak bisa menggerakkannya karena rasa sakit atau bukan, dia tiba-tiba saja jatuh, kaku seperti papan. Dia tetap seperti itu, menggeliat dan mengeluh sakit.

Ibunya tidak yakin apa yang harus dilakukan, dan B terus mengeluh hingga ibunya terpaksa menyeretnya ke kamar, dan karena kondisi B tetap tidak berubah, jadi ibunya akhirnya memanggil kami.

Setelah mendengarkan apa yang dikatakan ibu B, kami langsung naik ke kamar B. Kami bisa mendengarnya berteriak dari atas. “Sakit, sakit!” dia berteriak, berulang-ulang. Ketika kami memasuki kamarnya, dia seperti yang dikatakan ibunya; lengan dan kaki lurus, menggeliat kesakitan.

Aku: “Hei! Ada apa!?”

A: “Tenanglah! Apa yang terjadi!?”

Kami mendekatinya, tetapi dia terus berteriak kesakitan dan tidak mau menatap mata kami. Apa yang sedang terjadi? Baik Aku maupun A tidak tahu. Kami kembali ke ibunya, dan nada suaranya berubah, kali ini ibu B bertanya kepada kami dengan tenang,

Ibu B: “Ceritakan apa yang kalian lakukan, agar aku bisa mengerti apa yang terjadi. Apa yang kalian lakukan di sana tadi malam?”

Tentu saja, aku tahu apa yang ingin dia dengar, tetapi itu terasa menyakitkan untuk mengingat dan memberitahu apa yang kami lihat kepadanya, jadi kurasa aku tidak dapat menjelaskannya dengan baik.

Tetapi sekali lagi, hal yang kami lihat merupakan sebagian besar dari apa yang terjadi di sana, jadi apa pun yang mungkin menyebabkan hal ini kemungkinan besar telah kami ucapkan. Tapi kemudian Ibu B bertanya kembali tentang bukan apa yang kami lihat, tapi apa yang kami lakukan di sana.

Itulah yang ingin dia ketahui.

Kami mencari ingatan kami tentang malam itu, mencoba menemukan penyebab masalahnya. Jika penyebabnya adalah sesuatu yang kami lihat, maka kami akan mengalami masalah yang sama dengan B.

Tapi apa yang kami lakukan? Ya, kami semua pada dasarnya melakukan hal yang sama. Maksudku, aku menyentuh kotak itu juga, dan kami semua menyentuh botol di dalamnya. Selain itu hanya… tusuk gigi.

Aku dan A menyadari hal itu hampir bersamaan. Itu adalah tusuk gigi. B adalah satu-satunya yang menyentuhnya, dan ketika dia melakukannya, dia menghancurkan bentuknya. Tidak hanya itu, dia tidak menempatkan mereka kembali di posisi yang sama.

Kami pun memberi tahu ibu B.

Ekspresinya berubah di depan mata kami, dia gemetar. Dia segera berlari ke rak terdekat dan mengambil selembar kertas dari laci. Melihat itu, dia pergi untuk menelepon seseorang. Kami tidak bisa melakukan apa-apa selain menyaksikannya.

Beberapa saat kemudian dia kembali, dengan suaranya yang bergetar, Ibu B mulai berbicara kepada kami lagi.

Ibu B: “Sepertinya dia ingin bertemu dengan kalian sesegera mungkin, jadi aku ingin kalian segera pulang dan bersiap. Aku akan menelepon dan memberi tahu orang tua kalian. Aku pikir mereka akan menyiapkan semuanya bahkan tanpa kalian perlu mengatakan apa pun. Esok lusa aku ingin kalian kembali ke sini.”

Aku sama sekali tidak tahu apa yang dia katakan. Siapa yang akan kami temui, dan di mana? Dia menghindari pertanyaanku dan menyuruh kami pulang dengan segera. Untuk saat ini kami hanya melakukan apa yang Ibu B perintahkan, dan ketika aku bertanya kepada orang tuaku tentang hal tersebut, mereka hanya mengatakan “Pastikan kamu pergi.”

Tanpa tahu apa yang sedang terjadi, dua hari kemudian, Aku, A dan ibu B menuju ke tempat ini yang ingin dia bawa. B rupanya sudah dibawa ke sana sehari sebelumnya. Aku bertanya-tanya apakah tempat itu jauh, yang ternyata bukan hanya berbeda kota, tapi juga berada di prefektur lain.

Kami naik kereta cepat selama beberapa jam, dan kemudian dari stasiun kami pergi dengan mobil selama beberapa jam lagi. Dia membawa kami ke sebuah desa jauh di pegunungan, seolah-olah desa itu baru saja dirobek langsung dari sebuah lukisan.

Kami dipandu ke sebuah rumah yang lebih jauh melewati desa. Rumah besar dan tua, dengan ruang bawah tanah dan lahan mereka sendiri yang terpisah dari rumah lainnya. Itu menakjubkan.

Ibu B membunyikan bel,kemudian seorang lelaki tua dan seorang gadis muda datang untuk menyambut kami. Orang tua itu mengenakan setelan bermotif mengerikan dan anehnya tampak agak keren.

Gadis itu lebih muda dari kami dan mengenakan pakaian putih dengan celana hakama merah. Dia tampak seperti gadis kuil.

Ternyata lelaki tua itu adalah pamannya, dan dia memperkenalkan dirinya dengan nama yang cukup normal dan umum. Gadis kuil itu, bagaimanapun, memperkenalkan dirinya sebagai sesuatu seperti “Aoikanjo” (setidaknya, itulah yang ku dengar), dan termasuk beberapa nama yang belum pernah ku dengar sebelumnya dalam hidupku.

Meskipun dia memperkenalkan dirinya, sepertinya itu adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dengan yang dilakukan oleh orang pada umumnya. Maksudku, tidak ada cara bagiku untuk mengetahui garis keturunan keluarganya atau apapun.

Pada akhirnya, kami tidak tahu apa-apa tentang rumah atau gadis itu, jadi aku hanya akan memanggilnya dengan Aoi.

Kami ditunjukkan ke sebuah ruangan tatami yang besar, dan saat suasana menjadi serius, mereka mulai berbicara.

Paman Aoi: “Anakmu sedang beristirahat sekarang. Anak-anak ini yang bersamanya saat itu?”

Ibu B: “Ya. Mereka bertiga pergi ke sana bersama-sama.”

Paman Aoi: “Begitukah? Baiklah, maukah kalian memberitahu kami apa yang terjadi? Kemana tujuan kalian? Apa yang kalian lakukan? Apa yang kalian lihat? Aku berharap jawaban yang sedetail mungkin.”

Aku bingung karena mereka langsung ke intinya, tetapi kami memberitahu dia apa yang terjadi dengan detail sebanyak yang kami ingat. Kemudian, ketika kami menyebutkan tentang tusuk gigi, dia menyela kami dengan suara mengancam.

“A… apa yang baru saja kalian katakan?”

Kami menjadi semakin bingung dengan situasinya.

A: “Ma… maaf? ”

Paman Aoi: “Kamu tidak mengatakan bahwa kamu memindahkan barang-barang itu, kan ?!”

Dia meninggikan suaranya, mencondongkan tubuh ke depan seolah dia akan menarik A kapan saja. Aoi menahannya, dia mulai berbicara dengan suara kecil, seperti suara nyamuk yang menangis.

Aoi: “Di dalam kotak… seharusnya ada tongkat kecil yang disejajarkan dalam bentuk tertentu. Apakah kalian menyentuh itu ? Dan jika ya, apakah kalian mengubah bentuknya dengan cara apa pun?”

Aku: “Aahh, ya, kami melakukannya. Aku rasa bentuknya sudah rusak. ”

Aoi: “Siapa yang mengubah bentuknya, apakah kamu ingat? Bukan siapa yang menyentuhnya, tapi siapa yang mengubah bentuknya?”

A dan Aku saling memandang dan mengatakan kepadanya bahwa itu adalah B. Orang tua itu bersandar dan menghela nafas. Dia menoleh ke ibu B.

Paman Aoi: “Bu, maafkan aku, tapi sepertinya tidak ada lagi yang bisa kami lakukan untuk putramu saat ini. Aku tidak mendengar ada detail yang lebih baik, jadi menilai dari gejalanya, aku pikir ini mungkin sesuatu yang lain. Aku tidak pernah berpikir bahwa dia telah memindahkan benda itu. ”

“Jangan bilang kalau ..…”

There are things known and there are things unknown, and in between are the doors of perception ~

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top
error: Alert: Konten Dilindingi !!