Hachishakusama adalah legenda urban Jepang yang mengisahkan tentang sesosok wanita yang memiliki tinggi hingga delapan kaki dan suka menculik anak-anak.
•••
Aku memiliki kakek dan nenek yang tinggal di Jepang, yang kuingat terakhir kali aku bertemu mereka saat berumur 8 tahun. Dulu ketika aku kesana, mereka pasti sangat senang karena cucu satu-satunya ini datang berkunjung. Aku juga sangat senang bermain di tempat kakek dan nenekku, mereka sangat memanjakanku.
Aku ingat ketika suatu waktu aku mengunjungi mereka. Waktu itu orangtua-ku ingin menghabiskan waktu berdua saja, jadi mereka berada di daerah lain dan aku dititipkan kepada kakek dan nenekku. Mereka sudah menunggu di bandara, jadi aku dan orangtua-ku berpisah di sana.
Keesokan paginya, aku bermain di halaman belakang, sedangkan kakek dan nenek sedang di dalam rumah. Hari itu panas sekali, jadi aku berbaring di rumput halaman, melamun memandang awan dan menikmati angin sepoi-sepoi. Namun lamunan-ku buyar ketika tiba-tiba aku mendengar suara ..
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Suara itu tidak tahu darimana asalnya, aku melihat ke sekitarku, tapi tidak ada apa-apa. Suara itu seolah diucapkan oleh seseorang yang memang berkata “Po… Po… Po…”, tapi dengan suara berat.
Lalu aku tidak sengaja melihat ke atas pagar, ternyata ada semacam topi jerami, tapi topi itu bukan ada diatas pagar, melainkan ada dibalik pagar rumah ini. dari sanalah suara tersebut muncul …
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Tiba-tiba topi itu bergerak, seperti ada yang memakainya, kemudian berhenti lagi. Ada celah kecil di antara pagar, dan sekilas aku melihat wajah seseorang yang mengintip melalui celah itu. Seorang wanita, tapi pagar ini tingginya kurang lebih 8 kaki (2.4 meter).
Bagaimana wanita itu bisa setinggi pagar ini, apakah dia menggunakan sepatu hak tinggi atau semacamnya, aku pun tidak tahu. Lalu tak berapa lama, dia berjalan dan suara aneh tersebut juga mulai menghilang di kejauhan.
Aku langsung lari masuk ke dalam rumah. menceritakan hal ini kepada kakek dan nenekku yang sedang minum teh di ruang tengah. Saat aku bercerita, mereka seperti tidak menanggapinya dengan serius sampai aku menyebutkan suara aneh tersebut…
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Mereka langsung terkejut, terutama nenek, ia sampai menutup mulutnya agar tidak berteriak. Wajah kakek juga berubah menjadi tegang dan serius, ia langsung memegang tanganku dengan erat dan bertanya padaku, “Coba katakan, setinggi apa dia?”.
“Se.. setinggi pagar taman, kek”, aku menjawab dengan gugup.
Kakek ku terus menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.. “Dimana dia berdiri? Kapan kejadian itu? Apa yang kamu lakukan? Apakah dia melihatmu?”
Aku mencoba menjawab semua pertanyaannya itu sebaik mungkin. Lalu kakek langsung berlari ke ruangan sebelah dan menelpon seseorang. Aku tidak bisa mendengarnya dan ketika aku melihat nenek, ia sedang gemetar karena takut.
Kakek lalu kembali ke ruang tengah dan berbicara dengan nenek, “Aku harus keluar sebentar, Kamu disini bersama dia, jangan alihkan pandanganmu sedikitpun”. Ucapnya dengan nada panik.
Aku terisak sambil bertanya, “A… ada apa, Kek?”
Dengan tatapan sedih kakek melihatku dan mengatakan, “Kamu telah diincar Hachishakusama”. Setelah itu, dia langsung berlari keluar, menaiki truknya dan pergi.
Aku lalu bertanya dengan peralahan pada nenek, “Nek, Siapa itu Hachishakusama?”
Dengan masih gemetar nenekku menjawab, “Jangan khawatir, kakek akan melakukan sesuatu, tak usah khawatir”.
Kami menunggu kakek dengan cemas, lalu nenek mulai menjelaskan apa yang terjadi. Dia bercerita bahwa ada sesuatu yang berbahaya yang menghantui wilayah tersebut sejak dulu. Mereka menyebutnya dengan “Hachishaku-sama”, karena tingginya. Dalam bahasa Jepang, “Hachishaku-sama” artinya “Tinggi Delapan Kaki”.
Makhluk itu mengambil bentuk sebagai wanita yang sangat tinggi dan akan membuat suara “Po… Po… Po…” dengan suara berat pria. Bentuk fisiknya juga akan berbeda-beda tergantung siapa yang melihatnya, ada yang bilang seperti wanita tua memakai baju kimono, ada juga yang bilang anak perempuan dengan baju seperti kain kafan putih. Namun yang tidak berubah adalah tingginya dan suara yang dibuatnya.
Nenekku bercerita, bahwa dahulu kala, makhluk itu pernah ditangkap oleh seorang biarawan setempat dan mereka berhasil mengurungnya dalam bangunan rusak di luar desa. Mereka mengurungnya dengan bantuan empat patung suci yang disebut “Jizo” yang ditaruh di segala sisi penjuru bangunan tersebut. Harusnya hal itu dapat mencegah makhluk itu keluar, bahkan bergerak. Tapi entah bagaimana makhluk itu bisa kabur.
Kemunculan terakhirnya adalah 15 tahun lalu. Nenekku bilang, siapapun yang melihat Hachishakusama, akan mati beberapa hari kemudian. Ini semua terdengar gila di pikiranku. aku tak tahu apa yang harus aku lakukan, bahkan aku tak tahu apa yang harus kupercaya.
Saat kakek kembali, dia bersama seorang wanita tua. Dia memperkenalkan diri sebagai “K-san”, dan memberiku sebuah perkamen kecil yang sudah kusut, sambil berkata “Pegang ini”. Lalu dia dan kakekku naik ke atas untuk melakukan sesuatu. Aku dan nenekku masih menunggu di ruang tengah.
Nenek terus mengawasiku dan tak pernah melepaskan pandangannya dariku. Bahkan ketika aku harus ketoilet, nenek ku terus mengikutiku dan tidak membiarkanku menutup pintu. Ini semua benar-benar membuatku takut.
Beberapa saat kemudian, kakek dan K-san mengajakku ke atas menuju kamarku. Jendela ditutup dengan koran dan ada ukiran kuno yang dilukis di atasnya. Ada juga mangkuk berisi garam di keempat sudut kamar dan patung Buddha yang ditaruh di tengah kamar di atas kotak kayu kecil. Disana juga ada ember berwaran biru.
Aku bertanya, “Ember ini untuk apa?”
Kakek menjawab, “Untuk buang air”.
K-san lalu duduk di tempat tidurku dan berkata, “Sebentar lagi matahari tenggelam, jadi dengarkan baik-baik perkataanku ini. Kamu harus tetap di kamar ini sampai besok pagi. Jangan sampai keluar dengan alasan apapun hingga jam 7 besok pagi. Kakek dan nenekmu sama sekali tidak akan memanggilmu atau bicara kepadamu hingga saat itu. Jadi ingat, jangan coba pergi dari kamar ini dengan alasan apapun. Aku akan mengabari orangtuamu tentang kejadian ini.”
Dia bicara dengan nada yang serius dan aku hanya bisa mengangguk pelan.
Kakek lalu menambahkan, “Kamu harus mengikuti perintah dari K-san yang tertulis di kertas kecil itu, serta perkamen yang kau pegang jangan sampai hilang, jika ada apa-apa, berdoalah kepada Buddha, dan jangan lupa kunci pintu ini saat kami keluar.” Aku kembali mengangguk pelan,
Setelah itu mereka turun. Aku langsung menutup pintu dan menguncinya. Aku menyalakan TV dan menonton, tapi entah kenapa aku jadi sangat gugup dan itu membuatku mual. Nenek juga sempat memberi cemilan dan onigiri untukku, tapi aku tak bisa makan. Aku merasa seperti dalam penjara ditemani dengan rasa takut yang membuatku depresi. Aku akhirnya memutuskan untuk berbaring di kasur dan menunggu, tanpa sadar aku-pun tertidur.
Ketika aku bangun, ternyata waktu masih menunjukan jam 1 malam, masih ada 6 jam lagi untukku berada di kamar ini. Lalu tiba-tiba aku mendegar suara ketukan di jendela, “Tok..tok..tok..tok..”
Aku terkejut dan jantungku terasa berhenti mendengar suara itu. Aku berusaha untuk kembali tenang, berpikir bahwa itu mungkin hanya suara ranting pohon. Aku mencoba menaikan volume TV untuk menyamarkan suara ketukan di jendela, dan akhirnya suara itu berhenti.
Lalu tiba-tiba aku dengar suara kakek memanggilku, “Nak, kamu tidak apa-apa disana? Kalau kamu takut, kakek bisa temani kamu, kamu tidak perlu sendiri.”
Aku sangat senang mendengarnya, dan berlari ke pintu. Tapi sebelum memegang gagang pintu, aku terhenti. Sekujur tubuhku tiba-tiba merinding, suara tersebut memang suara kakek, tapi ada yang berbeda, aku tidak tahu apa tapi yang pasti aku bisa merasakannya.
Lalu suara itu kembali berkata, “Kenapa? ini kakek, buka saja pintunya”.
Aku takut, dan ketika aku melirik ke kiri, aku melihat garam yang tadi ada di mangkuk berubah menjadi hitam. Aku langsung mundur sejauh mungkin dari pintu. Sekujur tubuhku gemetar. Aku terjatuh lemas di depan patung Buddha dan memegang perkamenku dengan erat, aku berdoa memohon pertolongan dan mengatakan, “Selamatkan aku dari Hachishakusama.”
Lalu dari depan pintu terdengar suara …
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Ketukan di jendela mulai terdengar lagi, ketakutan-ku semaki menjadi-jadi, aku meringkuk di bawah patung buddha sambil menangis sepanjang malam. Rasanya kejadian ini tidak akan berakhir sampai aku tidak sadar pagi telah datang. Semua garam di mangkuk sudah berubah jadi hitam.
Aku melihat jam dan ternyata sudah jam 7.20 pagi. Aku membuka pintu dengan perlahan. Ternyata Nenek dan K-san sudah berdiri di luar menungguku. Saat dia melihatku, nenek langsung menangis dan berkata, “Bersyukurlah kamu masih hidup.”
Lalu kami turun ke lantai bawah, dan aku terkejut ternyata orangtua-ku sudah ada di sini. Dari luar, kakekku masuk dan berkata, “Cepat! Kita harus pergi sekarang.” Kami-pun langsung bergegas keluar dan ternyata ada mobil van hitam menunggu. Banyak warga desa yang berdiri melihat kami, beberapa ada yang menunjukku sambil berbisik, “Itu anaknya.”
Van ini memiliki 9 kursi. Aku duduk di tengah, dikellingi oleh 8 orang, dengan K-san yang menyetir. Seorang bapak di kiriku mengatakan, “Kamu kena masalah yang cukup besar, nak. Aku rasa kamu sekarang sedang bingung dan khawatir. Jangan takut, tundukkan saja kepalamu dan tutup matamu. Kami tidak bisa melihatnya, tapi kamu bisa. Jangan berani membuka mata sampai kami bisa mengeluarkanmu dari sini.”
Kakekku mengikuti dengan mobil lain dan berada di depan kami, sedangkan orangtuaku mengikuti dari belakang. Kami berangkat dengan kecepatan pelan, hanya sekitar 20 km/jam mungkin kurang. Tak beberapa lama, K-san mengatakan, “Di sini baru mulai sulit”, sambil berdoa.
Lalu setelah itu aku mendengar…
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Aku langsung memegang erat perkamenku yang diberikan K-san sambil tetap menunduk. Tapi aku sedikit mengintip, aku melihat semacam kain putih terbang seiring dengan angin, dan bergerak mengikutin van. Itulah Hachishakusama. Dia sekarang menempel di jendela van, sehingga bisa tetap bersama kami.
Secara tiba-tiba di membungkuk dan melihat ke arahku..
Aku kaget dan berteriak, “Tidak!”, dan Bapak di belakangku berteriak, “TUTUP MATAMU!”
Aku langsung menutup mataku seerat mungkin dan mengencangkan genggaman pada perkamenku. Lalu mulai terdengar ketukan khasnya.
“Tok..tok..tok..tok..”
Diikuti dengan suara khasnya …
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Tidak hanya disatu sisi, tapi suara ketukan itu terdengar dari seluruh jendela van. Suasana di dalam sangat tegang dan semua orang berdoa. Mereka memang tidak bisa melihat Hachishakusama dan suaranya, tapi mereka bisa mendengar jelas ketukan di jendela. Suara K-san semakin keras dalam berdoa bahkan hampir seperti berteriak.
Setelah beberapa saat, suara ketukan perlahan menghilang begitu juga suara khas itu. Semua orang akhirnya bernafas lega. Van-nya menepi dan semua orang keluar. Mereka langsung memindahkanku ke mobil ayahku, dan aku langsung dipeluk erat oleh ibuku sambil menangis.
Kakek dan ayah memberi hormat kepada para pria tersebut dan berpisah. K-san lalu menghampiriku dan memintaku menunjukkan perkamen yang diberikan. Saat aku membuka tanganku, kertasnya sudah menghitam.
K-san lalu berkata, “Aku rasa kamu sudah aman sekarang, tapi untuk berjaga-jaga, pegang ini.”, dia lalu memberiku perkamen baru.
Setelah itu, kami langsung pergi ke bandara dan kakek mengantarku. Saat itu ayahku bercerita bahwa saat kecil dia juga mendengar cerita tentang Hachishakusama, bahkan beberapa tahun lalu, anak temannya ada yang diincar oleh makhluk tersebut, dan kemudian ia menghilang tanpa jejak.
Ayahku juga bilang ada korban incaran Hachishakusama yang selamat dan bisa menceritakan pengalamannya, namun harga yang dibayar adalah, mereka harus meninggalkan Jepang dan tinggal di luar negeri. Mereka sama sekali tidak boleh kembali menginjakan kaki di jepang.
Hachishakusama selalu memilih anak-anak sebagai korbannya, karena anak kecil masih bergantung dengan orangtua dan anggota keluarga lainnya, sehingga masih mudah ditipu saat makhluk tersebut menyamar.
Ayahku juga bilang bahwa orang yang di dalam van sebenarnya adalah anggota keluarga, alasan mengapa kakek naik mobil di depan kami dan ayah naik mobil di belakang, karena untuk mengecoh Hachishaku-sama. Butuh waktu lama untuk menghubungi mereka semua dan itulah yang menjadi alasan aku harus dikurung di kamarku semalaman. Ayah lalu bilang patung Jizo (yang dulu berfungsi mengurungnya) rusak dan itulah yang membuar dia berhasil kabur.
Aku merinding mendengar cerita ayahku, tapi sekarang aku senang akhirnya bisa pulang.
•••
Semua itu terjadi kurang lebih 10 tahun yang lalu, sampai sekarang aku belum pernah bertemu secara fisik lagi dengan kakek dan nenekku, alasannya karena aku tidak bisa kembali ke Jepang, aku hanya bisa menghubungi mereka melalui telepon setiap beberapa minggu sekali.
Aku selalu mencoba meyakinkan diriku bahwa semua itu hanya legenda, dan mungkin hanya lelucon konyol, namun tetap saja aku tidak yakin mana yang benar.
Kakekku kemudian wafat dua tahun yang lalu, dan ketika dia sakit dia berwasiat agar aku tidak usah menjenguknya dan tidak perlu datang ke pemakamannya.
Beberapa hari yang lalu, Nenekku menelepon, dia memberikan berita duka, bahwa ternyata dirinya terkena kanker. Dia sangat rindu kepadaku dan ingin aku menjenguknya untuk terakhir kalinya sebelum dia meninggalkan dunia ini.
“Apakah nenek yakin? Apa sudah aman untuk aku datang kesana?” tanyaku.
“Itu sudah 10 tahun lalu, sudah lama sekali, kamu juga sekarang sudah besar, nenek yakin ini bukan masalah lagi.” jawabnya,
Aku bertanya kembali, “Ta.. tapi, bagaimana dengan Hachisaku-sama?”
Tidak ada jawaban darinya, tiba-tiba hening, lalu ada suara…
“Popopo… Popo… Popopo … Po… Po…”
Jadi hachishaku-sama nyamar jadi neneknya si aku??
Lho wait, ini kisah nyata bukan sih….?
Legenda Urban, Kaoru.
Jadi bisa nyata atau sekedar mitos. Tergantung kamu mau percaya yang mana 😀
Ini refrensi dari manga h****ikah? Gw baca manganya, ceritanya mirip cuman gada adegan s**nya awoakwok
Segeralah bertobat wahai anak muda 😡
gw jga baca awokaowk, tu ngambil referensi dari sini
Hei! .. ini situs Misteri 🙁
Kwkww, myb