Kami sedang melakukan perjalanan liburan di Ukraina selama seminggu. Hari-hari terasa menyenangkan sampai ketika Cheryl, anakku sakit. Ia mengalami gejala demam, badannya gemetar dan berkeringat hingga membuat dirinya basah kuyub.
“Mama, rasanya sakitku bertambah parah …”
“Maafkan Mama ya, Putriku sayang …” jawabku sambil mengelus rambutnya, “Tidurlah, besok papa dan mama akan membawamu ke dokter. sekarang beristirahatlah.”
Iapun mememjamkan matanya, mencoba untuk tidur. Aku lalu mematikan lampu kamar dan berjalan kembali ke ruang tamu.
“Sayang. aku khawatir. Tubuhnya panas sekali” keluhku pada suamiku yang masih duduk di dekat perapian sambil menghisap cerutunya. Ia menatap salju yang turun dengan lebatnya serta angin musim dingin yang bergemuruh di luar jendela.
“Aku tahu, Sarah. kita akan membawanya ke kota besok. aku yakin ada dokter disana yang akan membantunya. Apa kamu sudah memberikan paracetamol?”
“Sudah, aku harap itu bisa membuatnya lebih baik. Tapi kurasa kita harus membawanya malam ini …” pintaku sambil meremas tangannya.
“Tidak malam ini, Sayang.” jawabnya sambil menunjuk keluar, “Kau lihat kan, salju membuat jalanan tak bisa dilalui dan kita harus menunggu mobil pembersih salju esok pagi.”
Ia lalu menarik tanganku,“Tenang saja, duduk lah disini. Aku janji kita akan pergi pagi-pagi begitu jalanannya telah dibersihkan.”
Aku jadi tidak bisa tidur karena memikirkan anakku. Namun untungnya, ketika kami bangun keesokan paginya, jalanan sudah bersih dari salju. Aku dan suamiku langsung segera membawa Cheryl ke klinik yang ada di kota. Ia masih terlihat sangat lemas dan sesekali mengeluh saat perjalanan.
Akhirnya kami sampai di klinik yang dituju. Bangunannya sudah agak tua, ruang tunggunya pun hanya memiliki 4 kursi plastik dengan poster resort-resort tertempel di dinding yang mulai mengelupas.
Tidak beberapa lama, Suster mengarahkan kami ke ruangan pasien, ia menulis data diri Cheryl dan kemudian mengecek suhu tubuhnya, yang ternyata saat itu sekitar 39.6 derajat Celcius. “Dokternya akan segera datang.” ucap sang suster sambil berjalan meninggalkan ruangan. Kami menunggu dengan cemas karena suhu badan Cheryl sangat tinggi.
Beberapa menit kemudian pintu ruangan diketuk. Seorang pria botak dengan kacamatanya dan bertubuh agak pendek memasuki ruangan kami. Dia memperkenalkan diri sebagai dokter Zeo. Aku melihat jas putih dokternya sudah agak kecoklatan, entah terkena noda apa.
“Hmmm.. demam ya?” ucapnya dengan bahasa inggris beraksen ukraina. “Akhir-akhir ini memang banyak yang mengalami demam di kota ini.”
“Ya, kami agak sedikit khawatir, dok” jawabku.
“Baiklah, Aku akan memeriksanya sebentar”
“Silahkan, Dokter.” jawab Suamiku , “Tolong buat anak kami lebih baik. Kami ingin datang semalam, namun saljunya …” Belum selesai suamiku berbicara, Dokter mengisyaratkan suamiku untuk diam saat ia menempelkan stetoskopnya untuk mendengarkan detak jantung putriku.
“Hmm, tenang lah dia akan baik-baik saja,” ucapnya sambil menarik sebuah jarum suntik dengan cairan warna hijau, dari dalam jas putihnya, “Aku tahu apa yang ia butuhkan …”
Ia kemudian menarik lengan piyama Cheryl dan menyuntik tepat di lengannya. Cairan hijau tersebut perlahan masuk ke dalam tubuh Cheryl, aku melihatnya sedikit menjerit kesakitan saat bekas suntikan di lengannya di usap dengan kapas berakohol.
“Ia akan lebih baik sekarang …” ucap sang dokter sembari berjalan pergi tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Aku dan suamiku kebingungan. Lalu tiba-tiba terdengar suara ketukan lagi di pintu. Seorang pria bertubuh tinggi dan berjanggut lebat masuk dan menyapa kami.
“Maaf saya sedikit terlambat. Saya Dokter Dobre,” ucapnya, “Nah, apa keluhan yang dialami oleh Cheryl kecil?”