–Sumpah Diam– Aku membenci kedua orangtua-ku. Kenapa? karena mereka mengajakku pindah ke negara bagian lain. Seperti anak remaja lainnya, aku tidak suka jika harus dipaksa pergi meningglkan semua teman-teman-ku, terlebih lagi karena ini tahun terakhirku di sekolah.
Tentu saja aku melakukan protes keras akan hal ini, dan aku bersumpah untuk tidak akan berbicara sama sekali sebagai bentuk protesku. Jika mereka ingin menjauhkanku dari teman-temanku, maka aku akan menjauhkan mereka pula dari anak laki-laki yang biasa mereka kenal.
•••
Akhirnya aku berada di sekolah baruku. Pada awalnya aku sangat sulit beradaptasi, bukan karena mereka mengabaikanku, tapi sebaliknya, mereka malah terlihat tertarik melihat seorang anak baru yang tidak pernah berbicara sepatah katapun, bahkan saat sesi perkenalan diri di depan kelas.
Tapi untung saja, semua itu perlahan mulai reda. Mereka akhirnya jenuh dan menyadari bahwa aku memang tak akan berbicara pada mereka. Tak beberapa lama pandangan mereka terhadapku mulai berubah. Mereka mulai sedikit takut berada di dekatku, pastinya mereka berpikir aku anak yang keterbelakangan mental.
Sebenarnya aku berencana mengakhiri sumpah diam ku di semester pertama sekolah. Akan tetapi, aku menyadari bahwa ternyata tidak diacuhkan oleh orang lain adalah sesuatu yang menyenangkan. Tak ada yg pernah mengangguku, aku merasakan sebuah.. Ketenangan. Akhirnya aku memutuskan untuk tak pernah berbicara lagi selamanya.
Saat itu di bulan Agustus, ketika aku pulang dari sekolah aku melihat mobil ayahku di halaman rumah. Ia tidak pernah pulang kerja seawal ini. Ketika aku masuk ke dalam, aku melihat ia tertidur di sofa depan televisi.
Aku berjalan ke dapur dan melihat ada lusinan botol bir di atas meja. Tiba tiba di belakangku .. “Wah wah wah.. lihat siapa yang sudah pulang”
Ketika aku berbalik ternyata itu ayahku yang berdiri di lorong menuju dapur. Wajah tampak sangat marah.
Dengan perlahan ia mulai berjalan ke arahku, “Coba tebak.. siapa yang hari ini baru saja dipecat?” tanyanya
Aku lalu mengacungkan telunjukku ke arahnya.
“Wah anak pintar. Coba tebak lagi, kira-kira siapa penyebab semua stress yang ku alami sehingga membuatku kehilangan performa saat bekerja?” tanyanya lagi
Kembali aku menunjuk ke arahnya, kali ini dengan sedikit tersenyum sinis sebagai bentuk sarkasme.
“Masih tidak mau berbicara?” tanyanya
Aku menggelengkan kepala.
“Baiklah, kali ini aku akan membantumu.”
Dengan cepat ia langsung menghantam wajahku dengan keras. Aku langsung tak sadarkan diri selama beberapa saat, ketika tersadar aku sedang terkulai di lantai. Aku bisa merasakan hidungku berdarah. Aku melihat Ayahku sedang membongkar laci dapur, seperti mencoba untuk mencari sesuatu.
“Sialan, dimana Gunting itu berada !!!” teriaknya
Tak ku sadari darah terus mengalir dari hidungku hingga membasahi bibirku.
Ayahku berbalik dan menatapku, “Sekarang akan kupastikan kau takkan pernah bisa berbicara lagi seumur hidupmu!”
Ia menarik baju dengan kasar untuk membangunkanku dari atas lantai, “Bangun, anak idiot! Cepat bantu aku menemukan guntingnya!”
Aku langsung menunjuk ke langit-langit di atasku.
“Apa? Guntingnya ada di atas, di kamarmu?” tanyanya
Aku mengangguk.
“Buat apa sialan? Memotong bulu kakimu?”
Aku menggeleng sambil menyeringai ke arahnya.
Matanya mulai melebar, ketika ia mulai menyadari sesuatu.
“Hey, Ka … kau tak segila itu, kan?” tanyanya dengan gugup
Kemudian aku membuka mulutku dan menunjukkan potongan daging yang tersisa dari lidahku.
“Aaaaaggg …” hanya itu yang bisa kuucapkan.